Minggu, 16 Oktober 2011

Filosofi Ajaran Wetu Telu di Bayan-Lombok Utara


Adat dan Agama Harus Seimbang

"Agama adalah pemberian dari tuhan sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang yang keduanya harus dijaga dan diseimbangkan. Memang sebagian kalangan masih menilai pelaksanaan ajaran Wetu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjkan hanya pada awal, tengah dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam komunitas adat Bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan pada semua generasi dan penerus untuk menuntut  ilmu dan menyempurnakannya, asalkan adat - istiadat  tidak dikesampingkan agar tetap ber imbang dan seimbang.

Sumber lain yang berhasil ditemui  adalah Raden Jambianom, Penghulu Raden Adat Bayan, ia menjelaskan, “ Sebelum menyandang status Kyai Adat maka tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang tarawih kyai adat dimasjid Kuno Bayan.  Dalam pelaksanaan sembahyang tarawih Kyai Adat ini ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dipaki harus dibacakan secara berurutan, sedangkan filosofi pelaksanaan sembahyang tarawih kyai adat setelah tiga hari sembahyang tarawih secara umum karena berpatokan pada tanggal dan posisi bulan, dimana menurut filosofi ini diyakni sahnya sesuatu itu dikerjakan apa bila dapat dilihat secara langsung oleh mata. Sedangkan pada tanggal 1 dan 2 posisi bulan belum dapat terlihat dan kemudian baru dapat terlihat pada tanggal 3. Pelaksanaan ritual adat juga selalu berpatokan pada hari ketiga setelah ritual umum lainnya, karena masyarakat adat selalu berpegang teguh pada sistem penaggalan.

Sedangkan Kyai Kagungan yang melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim) pada dasarnya memiliki tugas pokok yang sama, yaitu sebagai imam, sedangkan tugas lainnya juga masih memilki tahapan dan bagian sesuai dengan wilyah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu dapat berperan disemua wilayah adat, sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut juga sebagai pembantu yang bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus berdasarkan keturunan.

“Terkiat makna Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai, Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranta- pranata dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimana pun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin dapat berjalan dengan baik.

Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak yang dimilkinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan terutang dalam pasal 18 ayat b bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual masyarakat adat . Jadi posisi dan keberadaan komunitas adat dan kerarifan lokal yang dimilkinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap dilestarikan.


Wetu Telu Bukan Agama

Kepercayaan dan pendapat yang menyebar pada sebagian besar dikalangan luar meyakini bahwa Wetu Telu itu adalah ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat atau komunitas adat Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Pandangan masyarakat luas yang berkembang seperti ini sangat disesalkan oleh semua tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat atau komunitas adat Bayan pada khususnya, terlebih secara tertulis telah dipublikasikan melalui sebuah buku yang berjudul Satu Agama Banyak Tuhan, karya Kamarudin Zaelani yang diterbitkan oleh percetakan Pantheon Media Pressindo bulan Maret 2007 lalu, isi yang tertuang yang ada dalam buku tersebut dinilai sangat mendiskriditimasi komunitas adat Bayan karena sumber yang ditemui masih sepihak dan belum memahami apa sebenarnya Wetu Telu tersebut.

Keluhan tersebut langsung dilontarkan beberapa Tokoh adat, Tokoh Agama, tokoh Masyarakat komunitas adat Bayan Kecamatan Bayan, KLU, seperti, Raden Gedarip (64), Raden Jambe, Haji Amir (63) dan Kardi Am.a.

Lalu seperti apakah Wetu Telu yang selama ini diyakini sebagai agama oleh kalangan luas…?

"Haji Amir (63) tokoh adat sekali gus tokoh Agama yang juga mantan Kepala Desa Loloan, Bayan, KLU priode tahun 1968-1998,  menuturkan, “ Wetu Telu itu adalah filosofi yang diyakini komunitas adat Bayan yang memiliki arti, makna serta penjabaran yang sangat luas dan mendalam tentang kehidupan manusia, Tuhan dan lingkungannya, yang kesemuanya itu tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, dimana folosofi ini juga kental dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islam.

“Wetu Telu juga menggambarkan filosofi tentang “ Wet Tau Telu (tiga bagian wilayah atau sistim Pemerintahan-red) diantaranya, Adat, Agama dan Pemerintah, ketiga unsur ini jika dilihat berdasarkan fungsinya tidak mungkin dapat terpisahkan dimana tugas dan fungsinya juga tidak mungkin dapat disatukan atau disamakan satu dengan yang lainnya. Filosofi lain juga meyakini Wetu dan Metu itu  yakin adanya Tuhan, Nabi Muhammad Saw, Ibu, Bapak, dan Anak serta menyakini adanya Nabi Adam sebagai manusia pertama yang dilahirkan dan diturunkan kebumi. Kemudian isi bumi atau alam diyakini dilahirkan melalui tiga cara atau tiga unsur, (Metu) yaitu,  Tioq (tumbuh), Menteloq (bertelur) dan terakhir melalui proses Beranak.

“Gambaran lain yang sering diucapakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Inaq, Amaq, Allah (Ibu, Bapak dan Tuhan) juga sebagai ungkapan kalau sorga itu berada dibawah telapak kaki ibu, filosofi ini juga masuk dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islama dimana semua ummat Islam harus tunduk dan patuh terhadap ajaran tersebut.

Keyakinan lain juga tergambar dari tiga aspek kehidupan yaitu Air, Agin dan Tanah, ketiga unsur ini juga menjadi dasar utama semua mahlauk hidup yang ada dimuka bumi dapat tumbuh, hidup serta berkembang biak, apa bila ketiga elemen ini ada dan dilestarikan.

Ketiga unsur lain tentang makna serta filosofi Wetu Telu yaitu Adanya tiga unsur yang mengayomi dan menuntun serta membina manusia atau masyarakat, yaitu dari Kyai yang berdasarkan keturunan dan memiliki tugas khusus dibidang agama, Tokoh Adat yang mengatur soal adat dan istiadat, dan yang terakir adalah pemerintah yang juga khusus membidangi sistim pemerintahan. 


Filosofi yang di Kaitkan dengan Asal Usul Kejadian Manusia

Asal usul dan kejadian ummat manusia yang ada dimuka bumi ini juga dapat dilihat dan dipahami apa bila kita sudah mampu dan mendapatkan beberapa unsur penting berikut ini, diantaranya “ Jati Diri, Aji Diri, Lihat Diri dan Sembah Diri, beberapa unsur ini juga erat kaitannya dengan ajaran, kajian serta aspek yang terkandung dalam Adat, Agama dan Pemerintah, tambah Kardi, A.Ma, salah satu Tokoh Masyarakat Desa Loloan, Bayan, KLU.

Wetu Telu juga merupakan 5 fase yang dilewati manusia sebelum dilahirkan kemuka bumi, yang pertama adalah fase alam roh, kemudian alam roh melibatkan tuhan melalui janin, kemudian baru menginjak alam dunia setelah dilahirkan dari perut sang ibu, fase berikutnya adalah alam barzah atau alam kubur dan yang terakhir adalah fase alam akherat. Kelima fase yang dilewati manusia ini juga sudah nyata tertuang dalam ajaran agama Islam yang memerintahkan ummatnya untuk mengerjakan sholat 5 waktu sehari semalam (Shubuh, Duhur, Ashar, Isya’, dan Magrib), selain itu ada lima unsur  juga diyakini mutlak sebagai pemberian dari Tuhan, yaitu, Penglihat (mata), Pendengar (telinga), penciuman (hidung), Perasa atau peraba (kulit) dan yang terakhir adalah Hidup. Dasar Lima atau fase ini juga tertuang dalam sistem dan lambang Negara Republik Indonesia  yang memiliki 5 dasar  yaitu Panca Sila.

Senada dengan itu, Raden Gedarip (64), Tokoh Adat Bayan, juga menambahkan, “ Kembali kita garis bawahi kalau Wetu Telu itu sama sekali bukan ajaran Agama atau waktu Sholat yang hanya dikerjakan 3 kali atau waktu Puasa yang dikerjakan pada saat awal, tengah dan akhir bulan Ramadhan saja, akan tetapi Wetu Telu itu adalah filosofi, paham atau sebutan dari proses kejadian antara Ibu, Bapak, dan Allah atau Tuhan. Filosofi lain yang kental juga yaitu Hubungan antara Tuhan dengan Manusia, Hubungan Manusia Dengan Manusia dan Hubungan Manusia dengan Alam, ketiga unsur ini juga harus sejalan dan bersama tapi tidak mungkin dapat disamakan, karena sudah memilki fungsi dan tugas tersendiri yang sudah jelas terpisah namun tidak dapat dipisahkan.

Adat lebih Dulu Ada dari Pada Agama
Kalau kita kupas dan gali secara mendasar kaitan Wetu Telu dengan semua unsur yang diatas memang tidak akan dapat habis, tapi masalahnya sekarang adalah bagai mana penerapan dan pelaksanaannya oleh manusia yang kembali lagi pada sifat manusia itu sendiri. Adat, Agama, Manusia, lingkungan (alam) hingga asal usul kehidupan manusia itu sendiri mulai dari sebelum terlahir sampai kembali lagi ke alam, kubur dan akherat memang tidak dapat terlepas dari filosofi dari Wetu Telu itu sendiri. Tapi soal kepercayaan tentang adat dan Agama memang masih banyak pendapat mana yang lebih dulu ada.

Adat istiadat adalah suatu bentuk aturan yang mengatur adaptasi atau penentu tata tertib mahluk hidup (manusia). Tapi melihat dari hubungan dan kaitannya dengan manusia, adat lebih dulu ada dari pada Agama, karena adat yang pertama kali mengatur tata krama masyarakat atau manusia, terlebih asal usul adat juga tidak ada yang tahu persis siapa yang pertama kali membawa dan menyakinkan masayarakat untuk diterapkan dan dijaga dalam kehidupan sehari-hari, bahkan secara spontan dan refleks mampu mengatur peradaban manusia sehingga ajaran atau paham yang tertuang dengan ajaran yang ada dan yang tertulis dalam Agama juga tidak ada yang menyimpang, (satu tapi tidak dapat bersatu, sama tapi tidak dapat disamakan, sendiri tapi tidak dapat dipisahkan).

Jadi sesuatu yang sifatnya sudah baku adanya di muka bumi dan sudah tentu dapat berubah dan diubah, sedangkan Adat dan Agama yang sifatnya sudah mutlak tidak dapat dirubah dan diubah beradasarkan keyakinan manusia atau komuinitas adat itu sendiri, tambah Kardi yang kemudian di amini oleh Haji Amir. Jadi yang jelas dan kita berharap isu atau pun paham yang selama ini berkembang dimasyarakat luas kalau Wetu Telu itu agama yang diyakini dan dianut oleh masyarakat dan komunitas Adat Bayan itu sangatlah tidak mendasar dan hanya di populerkan secara sepihak, terlebih dengan adanya terbitan buku yang kebenaranya tidak dapat dipertanggung jawabkan, tambah Kardi. 

SELENGKAPNYA...

Senin, 10 Oktober 2011


Lombok Utara - Kedatangan Menteri Lingkung Hidup ke Hutan Adat Mejet  Genggelang Kecamatan Gangga, KLU. Masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Lombok Utara bersama bersama Masyarakat Adat dan AMAN selaku Inisator kegiatan, melakukan persiapan.

Kepala Dinas Pertanian Kehutanan, Perikanan dan Kelautan, Hermanto, SP, sesaat setelah rapat persiapan di ruang Sekda KLU mengungkapkan, bahwa kedatangan Menteri Lingkungan Hidup, Sabtu (15/10/2011) merupakan moment penting, mengingat Menteri akan langsung kelokasi hutan Mejet untuk melihat bagaimana peran masyarakat, khususnya komunitas masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan.

Kegiatan kali ini, masyarakat adat yang ada di sekitar Hutan Adat Mejet, bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai pihak penyelenggara atau panitia. Dan Pemerintah KLU sangat mendukung, dengan memberikan apa yang dibutuhkan panitia penyelnggara, “selaku Pemkab KLU akan berusaha memfasilitasi demi lancarnya pelaksanaan kegiatan,” ungkap Hermanto.

Berdasarkan hasil rapat persiapan bersama Sekda dan tokoh masyarakat adat, “ada beberapa agenda kegiatan yang disepakati, yaitu pelaksanaan Ritual Adat Bisok (Mencuci) Gong sebagai simbol Nunas (Mohon) hujan, Peningkatan Kapasitas Kader Lingkungan Hidup,Penanaman Pohon dan Launching Bio Gas dirumah Wakil Bupati,” sebut Hermanto.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Penyelenggara Kegiatan, Putrawadi menjelaskan bahwa kegiatan Ritual Adat di Hutan Mejet memang digagas oleh Komunitas Masyarakat Adat sendiri yang bekerja sama dengan Pengurus Wilayah AMAN NTB. proposal kegiatan diajukan ke kementerian Lingkungan Hidup dan Alhamdulillah diterima walaupun Menteri LH sampai hari ini belum memastikan diri untuk hadir.

Namun demikian lanjutnya, Deputi IV Kementerian LH, Ibu Yusi berjanji pada hari Rabu mendatang surat pernyataan kesiapan kedatangan Menetri LH akan sampai ke provinsi NTB yang selanjutnya akan disampaikan kepada kami.

Dikatakan Putrawadi, bahwa Deputi IV Kementerian LH menjelaskan kedatangan menteri akan dibatalkan oleh tiga hal yaitu Dipanggil Presiden, mengikuti Fit and Profertes, dan Rapat Koordinasi, “jika jadwal Menteri tidak bertentangan dengan ketiga hal tersebut maka bisa dipastikan menteri akan hadir ditengah-tengah Masyarakat Lombok Utara, maka untuk memaksimalkan persiapan, kami dan masyarakat terus melakukan koordinasi dan tetap mengadakan rapat persiapan bersama Pemkab KLU, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dan hari ini adalah rapat yang keempat kalinya,” jelas tokoh masyarakat Bentek ini.

Selain itu, Putrawadi juga menyebutkan indikator mengapa hutan Adat Mejet menjadi tujuan kunjungan Menteri. Karena Hutan Mejet memiliki lima fungsi yaitu fungsi pengaturan cuaca, fungsi irigasi pertanian (Bendungan Alam), fungsi air minum, fungsi Wisata karena sumber air yang mengaliri air terjun Tiu Teja dan fungsi Ritual.

Selain itu, hutan Mejet merupakan Hutan Adat yang menjadi pusat Ritual Adat berkaitan dengan Kehidupan, oleh karenanya hutan Mejet tidak boleh ada penebangan pohon kecuali pohon tumbang dengan sendirinya. karena begitu pentingnya keberadaan Hutan Adat Mejet sehingga para leluhur kita dari jaman dahulu sampai sekarang  menyebutnya dengan istilah Pawang.
SELENGKAPNYA...

Rabu, 05 Oktober 2011

“Pesta Alip” Ritual Adat Yang Terlupakan

Karang Bajo, Sebayatanta - Bayan, selain dikenal dengan wisata budayanya, seperti masjid kuno dan kain tenunnya juga dikenal sebagai komunitas adat yang kuat, baik dalam menjalankan perintah agama yang dianutnya (Islam) maupun ritual adat yang berlaku disekitarnya. Tak heran bila masyarakat adat di Bayan Kecamatan Bayan  Kabupaten Lombok Utara, memiliki puluhan acara ritual yang masih tetap dilestarikan sepanjang zaman.

Namun dibalik itu ada satu acara yang menurut para tetua atau tokoh adat setempat yang jarang dilakukan, karena mengingat rumitnya cara pelaksanaan ritual tersebut yakni harus diikuti oleh 44 prusa adat yang kini sebagiannya sudah pindah ke daerah lain. Acara itulah yang dikenal dengan  Pesta Gawe Alip.

“Gawe Alip ini seharusnya dilaksanakan sekali dalam sewindu atau delapan tahun, yang diawali dengan selamat desa yang tujuannya memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar dunia ini aman, damai dan sejahtera”, kata Budanom, salah saorang tokoh adat keturunan Mangku Walin Gumi Karang Bajo, pada acara pertemuan tokoh adat membahas dampak pemanasan global 1/9 di Balai Sebaya Tanta.

Dikatakan, masyarakat adat Bayan memiliki perhitungan tahun delapan yaitu, tahun Alip, Ehe, jimawal, Ce, Dal, Be, Wau dan tahun Jimahir. Dari perputaran tahun, ketika sudah memasuki tahun Alip, seyogyanya masyarakat adat melaksanakan pesta alip yaitu Alip Endos dan Alip Numbuk. Pada pesta alip endos, masyarakat adat memohon kepada Allah SWT agar diberikan rezeki yang melimpah serta keturunan yang banyak. Sementara pasangan pesta alip endos adalah alip numbuk yang pada acara rituanya dilakukan doa bersama agar apa yang dianugrahkan oleh Allah seperti rezeki dan anak keturunan membawa baroqah dan mamfaat bagi umat manusia dijagad raya.

Puluhan tokoh adat Karang Bajo mengaku, acara ini memang  sulit dilaksanakan, karena harus mengumpulkan 44 orang keturunan pemangku dan Mak Lokak. Selain itu membutuhkan biaya yang besar untuk pelaksanaan ritual adat pesta alip, sedangkan sebagian mereka sekarang ini sudah tidak memimiliki pecatu tempat mereka mencari kehidupan. Dan konon acara ini pernah dilaksanakan sekitar tahun 1957, dan setelah itu tidak pernah lagi diritualkan.

Lalu apa hubungannya dengan pemanasan global atau madang dunia sekarang ini? “Ini sebenarnya sebuah peringatan bagi kita umat manusia dimuka bumi ini yang telah banyak melakukan tindakan kesewenang-wenangan terhadap alam dan lingkungan. Dan hal ini para orang tua masyarakat adat jauh sebelumnya sudah meramalkan kejadian madang dunia. Dan para tetua dulu sudah mengingatkan, jika terjadi seperti ini harus segera melakukan penyelamatan dengan mengadakan ritual adat selamat desa yang dilanjutkan dengan pelaksanaan gawe alip”, jelas Budanom.

Dibalik itu semua ada ramalan yang cukup menggembirakan, seperti diutarakan oleh H. Abdurrahman, bahwa madang dunia ini akan berakhir pada tahun 2011, dan setelah itu kondisi cuaca yang tidak menentu ini akan kembali normal. “Para orang tua kita dulu sudah menceritakan apa yang terjadi sekarang ini, dan kondisi ini, Insya Allah akan kembali normal pada tahun 2012.(ari)

SELENGKAPNYA...

Selasa, 04 Oktober 2011

Nilai Sebuah Peradaban Bertani Adat Bayan

Bayan, Sebayatanta - Indonesia terkenal sebagai Negara agraris, dimana sebagian mata pencahariannya lebih banyak di sektor pertanian. Sehingga muncul dengan istilah masyarakat agraris yang memiliki posisi subsisten, artinya masyarakat yang kebutuhan hidupnya dapat tercukupi dari ketersediaan alam. Dengan modal lahan pertanian yang dimilikinya, maka mereka bisa terjamin ketersediaan pangannya selama semusim.

Masyarakat agraris biasa memiliki pengetahuan berdasarkan adapt istiadat setempat yang dihasilkan dari kehidupan sehari-hari yang disebul kearifan lokal atau local wishdom. Kearifan lokal ini dalam bentuk tradisi yang biasa dilakukan sebelum melakukan suatu kegiatan. Dan kearifan lokal itu sendiri memiliki substansi yang berbentuk pluralisme dan toleransi, yang didalamnya terdapat nilai-nilai baik itu agama, budaya maupun politik.

Begitu juga halnya masyarakat adat Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, yang memiliki adapt-istiadat yang dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah ritual ketika akan mulai bercocok tanam padi.

Bila masyarakat Jawa mengenal namanya Dewi Sri sebagai dewi kesuburan maka mayarakan Bayan mengenal namanya Dewi Padi dengan sebutan Inak Sariti. Dan masyarakat adapt Bayan umumnya menanam varietas padi lokal yaitu padi bulu. Varietasi padi ini menurut beberapa tokoh adapt menyebutkan sebagai padi yang pertama kali ditanam di Bangket (sawah) Bayan. Selain itu ada sebagian berkeyakinan bila tidak menanam padi bulu, maka panen berikutnya akan gagal. Dan masyarakat setempat juga lebih menyukai varietas ini karena menghasilkan rasa nasinya yang lebih enak.

Sebelum menanam padi, masyarakat biasanya memilih hari yang baik untuk melakukan acara ritual yang disebut dengan selamat olor yang bertujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar sumber mata air melimpah dan padi yang ditanamnya menjadi subur. Do’a pun dipimpin oleh para kiyai adat. Dan pada acara seerti ini biasanya masyarakat adapt memotong ternak berupa ayam atau bebek yang dilakukan dibeberapa tempat sumber mata air di Bayan. Dan sekali dalam tiga tahun masyarakat adat menotong kerbau.

Setelah selamat olor selesai, acara dilanjutkan dengan ritual tun bibit (menurunkan benih) yang istilah Bayannya tunang binek dari sambi/geleng (lumbung padi), dimana benihnya dipersiapkan pada musim tanam tahun lalu.

Benih padi yang mereka miliki biasanya dalam bentuk ikatan, yakni per satu hektar lahan membutuhkan 25 ikat benih padi bulu. Kemudian benihnya direndam dengan air selama 3 hari 3 malam agar berkecambah dengan baik. Lalu ditebarkan di lahan yang sudah disiapkan untuk pembibitan selama tiga sampai empat minggu.

Setelah bibit siap untuk ditanam, barulah mereka melakukan beberpa proses seperti menggara (membajak) sawah dengan kerbau atau sapi, kemudian melakukan penanaman yang dikenal dengan istilah bahasa Bayannya dengan melong. Ketika tanaman berumur 100-120 hari padi sudah mulai berisi atau bisa dikatakan dalam keadaan hamil kecil, maka dilakukan acara nyemprek yakni sebuah acara berdo’a kepada Allah agar padinya selamat dari segala macam hama penyakit dan memberikan hasil yang melimpah ruah ketika musim panen tiba. Karena pada masa itu padi dianggap ngidam seperti halnya seorang wanita sehingga dilakukan ngisi pengidaman (mengisi permintaan ketika mengidam).

Ketika padi sudah menguning dan musim panen telah dekat, maka diadakan kembali acara selamatan bawu pare atau memotong padi. Do’a kembali dipimpin oleh para kiyai adat, dan upacara ini dikenal dengan istilah memuntah (mengumpulkan roh-roh padi) yang sebelumnya mereka anggap sedang bermain, dan keesokan harinya barulah padi ini dipanen atau bahasa Bayannya mematak.

Petani sebelum panen biasanya memilih padi yang baik untuk disimpan dan dijadikan bibit musim tanam berikutnya. Padi-padi pilihan tersebut dipisahkan dari padi-padi lainnya, yang digunakan untuk konsumsi, agar tidak tercampur, dan setelah itu barulah mereka melakukan mematak secara keseluruhan. Satu hal yang menarik bahwa selama panen (mematak) mereka tidak boleh mandi. Jadi jika waktu panennya 3 hari maka selama itulah mereka tidak mandi. Hal ini juga berlaku bagi yang membantu mematak. Saling Bantu membantu ini dikenal dengan sebutuan betulungan oleh masyarakat setempat.

Setelah selesai panen, padi-padi tersebut dijemur sampai kering lalu diadakan upacara tekang pare. Prosesi ini dilakukan sebelum padi disimpan dalam lumbung/geleng . Dan do’apun kembali dipimpin oleh para kiyai adat dan menyampaikan pesan agar padi-pai tersebut mengetahui bahwa dia akan disimpan di geleng. Geleng adalah sebuah lumbung padi yang bentuknya mirip seperti rumah panggung tapi lebih kecil dengan empat buah kayu penyangga dan beratap jerami.

Padi yang disimpan untuk menjadi bibit dipisahkan dengan padi yang dikonsumsi sehari-hari. Dan pada saat menyiompan atau mengambil padi harus mengenakan pakaian adapt yang untuk laki-laki mengenakan dodot (kain yang dibelitkan di pinggang) dan ikat kepala yang disebut sapuk.

Tradisi bertani di Bayan merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menghargai makna dan nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya untuk selalu dijaga dan lestarikan tanpa berlebihan. Masyarakat desa masih berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur segala bentuk hubungan antar manusia dengan Tuhan, sesame manmusia dengan mahluk lain serta dengan lingkungan sekitarnya. Dan di sisi lain sangat menjunjung tinggi nilai kehidupan.
SELENGKAPNYA...

Ritual Adat Selamat Asuh Mangku Perumbaq Daya

Bayan, Sebayatanta - Bayan dikenal sebgai poros Adat di Gumi Sasak Adi (sebuah sebutan nama pulau Lombok dalam kitan Negara Kertagama). Untuk pengelolaan wilayah dan hutan adapt sebagai hak bersama maka komunitas-komunitas adat memiliki system pengetahuan secara turun temurun, hokum adapt dan struktur kelembagaan adat yang memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan untuk menjaga kelestarian hutan (Pawang) adat, masyarakat Bayan mengangkat asuh Prusa Mangku Perumbak Daya yang fungsinya mengatur dan menata keberlanjutan hutan adapt bagi keberlangsungan hidup masyarakat Banyak.

Asuh Prusa Mangku Prumbak Daya adalah sebuah upaya untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan budaya untuk pawing adat Bangket Bayan. Dalam ritual penobatan Mangku Perumbak Daya ini, terlebih dahulu dilakukan beberapa persiapan-persiapan dan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Pertama, dilakukan gundem (musyawarah) tokoh-tokoh adat Gubug Karang Bajo. Gundem tersebut bertujuan untuk memastikan prosesi penobatan calon Mangku Perumbak Daya, yang dihadiri oleh para tokoh adat seperti Toak Lokaq, Pemangku, Kiyai, Ketib, Lebey, Penghulu dan tokoh-tokoh adat lainnya.

Kedua, Pembekalan kepada calon Mangku beserta keluarganya. Beberapa hari sebelum prosesi penobatan/pelantikan dilaksanakan terlebih dahulu calon Mangku beserta keluarganya diarahkan menuju rumah dinas Pemangku Karang Bajo untuk diberikan berbagai saran, nasehat dan wejangan terkait tanggungjawab yang diembannya.

Ketiga, Prosesi Ritual. Mangku Perumbaq yang diangkat sebelum diarak ke rumah dinasnya diberikan bedak rames. Pemakaian bedak rames merupakan permulaan dari ritual, dimana bedak rames ini merupakan bedak yang dibuat dari darah kerbau dengan berbagai campuran yang sudah ditentukan oleh aturan adapt dan sudah di do’akan oleh Lebey. Salah satu dari bahan bedak rames ini adalah kelapa, kunyit dan lain-lain. Maka dengan bedak rames inilah calon mangku perumbaq ini dibersihkan. Karena prosesi pemeberian bedek rames ini merupakan prosesi pembersihan tahap pertama.

Prosesi ini kemudian dilanjutkan dengan dimandikan calon Mangku Perumbaq di Lokok Belek (kali besar-red) Karang Bajo, Kecamatan Bayan-Lombok Utara. Calon Perumbaq ini dimandikan dengan air penyuci sebelum nantinya akan dikenakan pakaian kebesarannya mangku, sehingga siap untuk dilantik atau dinobatkan.

Setelah dimandikan dengan air penyuci, calon mangku Perumbaq dikenakan pakaian kebesaran mangku, yaitu sebuah pakaian khusus disiapkan oleh sesepuh adat untuk dikenakan pada saat pelantikan dan prosesi-prosesi adapt lainnya.

Penobatan, dalam prosesi ini, terlebih dahulu dibacakan berbagai aturan dan tatacara yang dilaksanakan oleh mangku. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, juga peraturan dibacakan kepada seluruh warga yang ada. Dalam penobatan atau pelantikan ini dilakukan oleh Lokak Pande dan Lokak Walin Gumi. Barulah kemudian calon mangku ini resmi menjadi Pemangku dan namanya berubah menjadi Amaq Mangku bagi yang laki-laki da Inaq Perumbaq bagi istri mangku tersebut.

Prosesi terakhir adalah Mangku bersama semua keluarganya diarak oleh ratusan masyarakat adat menuju tempat yang sudah ditentukan yaitu menuju tempat tinggalnya di pawang (hutan) adat Bangket Bayan. Setelah sampai di rumah dinasnya kembali dilakukan berbagai proses adapt yang disebut dengan Serah Pabuan Mangku Perumbak kepada Lokaq Bual. (M. Syairi)
SELENGKAPNYA...