Rabu, 05 Oktober 2011

“Pesta Alip” Ritual Adat Yang Terlupakan

Karang Bajo, Sebayatanta - Bayan, selain dikenal dengan wisata budayanya, seperti masjid kuno dan kain tenunnya juga dikenal sebagai komunitas adat yang kuat, baik dalam menjalankan perintah agama yang dianutnya (Islam) maupun ritual adat yang berlaku disekitarnya. Tak heran bila masyarakat adat di Bayan Kecamatan Bayan  Kabupaten Lombok Utara, memiliki puluhan acara ritual yang masih tetap dilestarikan sepanjang zaman.

Namun dibalik itu ada satu acara yang menurut para tetua atau tokoh adat setempat yang jarang dilakukan, karena mengingat rumitnya cara pelaksanaan ritual tersebut yakni harus diikuti oleh 44 prusa adat yang kini sebagiannya sudah pindah ke daerah lain. Acara itulah yang dikenal dengan  Pesta Gawe Alip.

“Gawe Alip ini seharusnya dilaksanakan sekali dalam sewindu atau delapan tahun, yang diawali dengan selamat desa yang tujuannya memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar dunia ini aman, damai dan sejahtera”, kata Budanom, salah saorang tokoh adat keturunan Mangku Walin Gumi Karang Bajo, pada acara pertemuan tokoh adat membahas dampak pemanasan global 1/9 di Balai Sebaya Tanta.

Dikatakan, masyarakat adat Bayan memiliki perhitungan tahun delapan yaitu, tahun Alip, Ehe, jimawal, Ce, Dal, Be, Wau dan tahun Jimahir. Dari perputaran tahun, ketika sudah memasuki tahun Alip, seyogyanya masyarakat adat melaksanakan pesta alip yaitu Alip Endos dan Alip Numbuk. Pada pesta alip endos, masyarakat adat memohon kepada Allah SWT agar diberikan rezeki yang melimpah serta keturunan yang banyak. Sementara pasangan pesta alip endos adalah alip numbuk yang pada acara rituanya dilakukan doa bersama agar apa yang dianugrahkan oleh Allah seperti rezeki dan anak keturunan membawa baroqah dan mamfaat bagi umat manusia dijagad raya.

Puluhan tokoh adat Karang Bajo mengaku, acara ini memang  sulit dilaksanakan, karena harus mengumpulkan 44 orang keturunan pemangku dan Mak Lokak. Selain itu membutuhkan biaya yang besar untuk pelaksanaan ritual adat pesta alip, sedangkan sebagian mereka sekarang ini sudah tidak memimiliki pecatu tempat mereka mencari kehidupan. Dan konon acara ini pernah dilaksanakan sekitar tahun 1957, dan setelah itu tidak pernah lagi diritualkan.

Lalu apa hubungannya dengan pemanasan global atau madang dunia sekarang ini? “Ini sebenarnya sebuah peringatan bagi kita umat manusia dimuka bumi ini yang telah banyak melakukan tindakan kesewenang-wenangan terhadap alam dan lingkungan. Dan hal ini para orang tua masyarakat adat jauh sebelumnya sudah meramalkan kejadian madang dunia. Dan para tetua dulu sudah mengingatkan, jika terjadi seperti ini harus segera melakukan penyelamatan dengan mengadakan ritual adat selamat desa yang dilanjutkan dengan pelaksanaan gawe alip”, jelas Budanom.

Dibalik itu semua ada ramalan yang cukup menggembirakan, seperti diutarakan oleh H. Abdurrahman, bahwa madang dunia ini akan berakhir pada tahun 2011, dan setelah itu kondisi cuaca yang tidak menentu ini akan kembali normal. “Para orang tua kita dulu sudah menceritakan apa yang terjadi sekarang ini, dan kondisi ini, Insya Allah akan kembali normal pada tahun 2012.(ari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar